Aku yg tertua di rumah itu, umur masih 15 tahun. Saat itu Bapakku ke rumah Bang Ani di sekitar Pelabuhan Seismic Dumai. Adik lelakiku Muhammad Rozali berumur kurang dari 2 tahun, sedang demam panas tinggi. Rumah kami Gang Jambu sedang musim banjir. Pukul 21 wib saat itu gerimis, suara katak bersahutan meminta tambah hujan. Aku, adikku Aro dan Ina duduk dekat Ijal, begitu panggilan pada adik kami yg demam itu.
Sebagaimana biasa kalau demam kami diuras / dikompres dengan air sejuk, bgitu juga yg kami lakukan pada ijal. Mengenai obat demam yg laen aku tak ingat. Tiba2 badan adikku mengejang, matanya mendelik ke atas dan hanya menyisakan mata putihnya saja lagi. Peristiwa ini mengejutkan kami yg saat itu tinggal adik beradik di rumah. Apalah yg dapat aku buat sebagai abang selain dari pada memegangi gerak kejang itu dan mengompres berulang ulang sambil membaca alfatihah, karena tak tau yg hendak dibuat lagi. Hanya Allah yang bisa menyelamatkan adik kami ini.
Setelah step/ kejangnya tak ada lagi, aku langsung berlari dan teringat utk mengambil daun kapas dan durian belanda / sirsak yg di sekitar rumahku. Setahu kami daun tsb kalau direndam akan punya efek menurunkan panas badan.
Tak dapat aku bayangkan beban yg kami alami saat itu. Umur 11 tahun ditinggalkan Mak setelah 37 hari melahirkan adikku Isnur Hayati. Dokter menyatakan sesak nafas. Aku masih ingat kondisi Mak yg penat mempersiapkan 2 hari lagi pernikahan Mak Usu Fauziah, tapi Allah memanggilnya untuk selama2nya dan meninggalkan aku, Aro dan Ina, serta Adikku Is masih berumur 37 hari.
Situasi malam itu sama dengan saat demamnya adikku Ijal. Hal ini membuat aku sedikit trauma bila ada hujan gerimis, banjir dan suara katak bersahutan. Ada kesedihan yang diikuti kekwatiran, yang menyusupi perasaan ini bila keadaan yg sama saat keluarga sakit.
Perasaan ini menemani aku tumbuh tegar dan berupaya mandiri bersama adik2ku semua. Smoga rasa sayang ini tak memudar karena kami satu sumber darah. DARAH LEBIH PEKAT DARI AIR.
By Ohm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar